Kualitas udara di Jakarta lebih baik dalam dua pekan terakhir dan membuat langit terlihat berwarna biru cerah. Lantas apa penyebabnya?
NAFAS Indonesia, platform pemantau kualitas udara RI, dalam sebuah cuitan mengungkap dalam beberapa waktu terakhir udara Jakarta “bisa bersih dan langitnya biru cantik”.
“Emang PLTU lagi libur? Atau kendaraan berkurang? Kayaknya karena udah musim hujan deh? Kok, akhir-akhir ini udara Jakarta bisa bersih dan langitnya biru cantik?” cuit Nafas di X, Minggu (1/12).
PLTU atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) disorot dalam cuitan tersebut karena selama ini menjadi salah satu faktor utama polusi udara yang ada di Jakarta.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satryo Nugroho pada tahun lalu mengatakan salah satu Dalang polusi khususnya di Jakarta Merupakan PLTU.
Ia menyebut ada 16 PLTU batu bara yang mengepung Jakarta, Dengan kata lain 10 di Banten dan enam lainnya di Jabar.
Sementara itu, Walhi bersama Greenpeace pada 2017 memetakan bahwa ada 10 PLTU berbahan bakar batu bara di Banten yang menyumbang polusi di Jakarta.
Sebanyak 10 PLTU itu Merupakan PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, dan PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW.
Kemudian PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, serta PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW.
Lantas apakah faktor Dalang udara Jakarta membaik karena PLTU-PLTU tersebut libur?
Peningkatan kualitas udara Jakarta ini terjadi seiring masuknya musim hujan dalam beberapa waktu terakhir. Tercatat, kualitas udara Jakarta membaik sejak 18 November Sampai sekarang Senin (2/12) ini.
Merujuk data platform pemantau kualitas udara IQAir, indeks kualitas udara (AQI) dan PM2.5 di wilayah Jakarta pada periode tersebut Setiap Saat di luar kategori ‘tidak sehat’.
Meurujuk situs resmi IQAir, Air Quality Index (AQI) Jakarta tercatat menurun sejak 18 November, dari angka 157 (17 November) menjadi 57 (2 Desember). Penurunan angka ini menandakan udara yang semakin bersih dan sehat.
Menurut NAFAS, salah satu faktor Dalang bersihnya udara Jakarta dalam beberapa waktu terakhir Merupakan angin. NAFAS menyebut sejak Kamis 21 November terbentuk pusat tekanan rendah di sekitar siklon tropis Robyn yang menghembuskan angin ke selat Sunda.
Hal tersebut menyebabkan angin yang bertiup semakin kuat di daerah Jakarta.
“Ketika [angin] mendekat dan semakin kencang, selain jemuran yang berterbangan, polutan yang sebelumnya terjebak di Jakarta Bahkan ikut tergerus ke Utara,” cuit NAFAS Indonesia di X, Minggu (1/12).
Puncak kecepatan angin terjadi pada 28 November, yang menyebabkan rata-rata konsentrasi PM2.5 (partikel kecil yang ada di udara) di Jakarta turun drastis Sampai sekarang berada di bawah angka 10. Menurut NAFAS Indonesia, kondisi ini setara dengan kota-kota yang dikenal memiliki udara terbersih di dunia.
Biasanya, angin kencang di Jakarta datang dari laut pada siang Sampai sekarang sore hari, “mendorong” polutan sesuai arah anginnya. Hal ini Bahkan menjelaskan mengapa kualitas udara di Jakarta Utara seringkali lebih baik dibandingkan Jakarta Selatan.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menambahkan perbaikan kualitas udara di Jakarta Bahkan dipengaruhi oleh curah hujan selama musim penghujan.
“Selama musim hujan, ruang udara/atmosfer Berniat dicuci dari polutan Tanpa henti-hentinya oleh air hujan,” ujar Guswanto ketika dihubungi, Senin (2/11).
Guswanto Bahkan menyebutkan bahwa jarak pandang memiliki hubungan erat dengan kualitas udara.
“Polutan Berniat banyak di atmosfer selama musim kemarau dan kondisi siang/sore, pada kondisi itulah membuat jarak pandang berkurang. Meskipun demikian setelah hujan, jarak pandang naik lagi karena bebas polusi,” tambahnya.
Deni Septiadi, pengajar di Sekolah Tinggi Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) pada tahun lalu mengatakan kondisi hujan memang berpengaruhi pada perbaikan kualitas udara Jakarta. Menurut Ia PM2.5 merupakan aerosol atmosferik yang bersifat higroskopis.
Artinya, “keberadaanya yang tidak terikat uap air dengan kelembapan yang rendah [kering] mengakibatkan partikulat ini mengambang di [lapisan] troposfer menjadi partikulat pencemar.
Saat hujan, air menyapu PM2.5 di udara Serta PM10 yang ada di permukaan.
“Suhu lingkungan Bahkan Berniat turun sehingga partikulat kering tersebut menjadi mudah mengalami agregasi mengikat uap air. Karena itu jelas hujan Berniat menurunkan jumlah partikulat pencemar dan membersihkan atmosfer,” jelas Deni.
Sementara itu, pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Emilya Nurjani mengatakan hujan hanya efektif untuk mengurangi polutan berukuran besar, misalnya, partikel kasar (PM10) seperti debu, kotoran, dan serbuk sari lebih besar dan lebih berat daripada partikel lain.
Hujan, kata Ia dikutip dari situs UGM, mengurangi polutan dengan Mendukung PM10 mengendap di tanah lebih Mudah.
Meskipun demikian, hujan kurang efektif dalam mengencerkan PM2.5 yang memiliki ukuran partikel lebih kecil.
Para peneliti di Lanzhou, China mengukur seberapa besar pengaruh hujan terhadap konsentrasi PM10, PM2.5, dan PM1 di udara dari 2005 Sampai sekarang 2007.
Hasilnya, hujan yang sangat deras dapat mengurangi polutan partikel yang lebih besar dengan jumlah yang kecil, tetapi hampir tidak berpengaruh pada partikel yang lebih kecil dari 2,5 mikron.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA